Showing posts with label Belajar. Show all posts
Showing posts with label Belajar. Show all posts

Saturday, October 26, 2019

Tentang Berprestasi

Serifikat sebagai Pengajar tamu di School of Knowledge Sharjah
Pentingkah anak-anak (kita) berprestasi?

Kalo saya mendapat pertanyaan ini, saya pasti akan jawab IYA. Berprestasi yang seperti apa? jawabannya akan berbeda-beda. Saya termasuk yang mempercayai, prestasi adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan rasa percaya diri anak (dan juga diri kita sendiri).

Saya sendiri merasa sangat beruntung, memiliki 2 anak yang sehat dan aktif, saya dan suami merasa adalah tugas kami untuk memfasilitasi anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan menemukan passion mereka. Dengan harapan tentu saja mereka bisa menjalani hidup dengan bahagia. Apakah anak-anak saya berprestasi?iya menurut saya. Meski mereka tidak menjadi peserta olimpiade A B C, tidak ikut kompetisi A B C. Tapi, mereka memilih tantangan mereka sendiri. Prestasi anak-anak bagi kami adalah saat anak bisa menyelesaikan tantangan yang mereka pilih. Kadang pula, kami sebagai orang tua harus memilihkan dan 'sedikit' memaksa, not reinforced but encouraged.

Kenapa mereka tidak pernah ikut kompetisi dan punya banyak koleksi medali?karena di tempat kami tinggal berkompetisi seperti itu tidak menjadi budaya, adalah tugas masing-masing individu yang ingin berkompetisi untuk mencari kompetisinya sendiri.

Saya tentu saja cukup bahagia dengan situasi ini, karena jujur saya adalah produk budaya belajar yang selalu dikompetisikan, yang selalu akan merasa kalah jika tidak ikut arus sekitar. Kultur pendidikan yang "santai" sedikit banyak menekan keinginan untuk mengkompetisikan anak dengan yang lain.

Saya teringat pertanyaan saya kepada seorang Kepala Sekolah di Surabaya, kalau anak tidak pernah dikompetisikan dengan rekan-rekannya, lalu bagaimana dia bisa belajar menjadi lebih baik, Jawaban beliau adalah anak harus berkompetisi dengan dirinya sendiri. Hingga 6 tahun setelahnya saya baru memahami arti dari jawaban ini, memahami tidak hanya secara literal, tapi juga menghayati dalam setiap pengambilan keputusan dan diskusi saya dengan anak-anak.

Saat ini kami, saya dan suami merasa sangat bersyukur anak-anak dapat tumbuh di lingkungan yang memberi kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai. Lingkungan pendidikan yang bukan hanya memberi kesempatan mereka berkembang secara akademik, namun sekaligus bidang-bidang non akademik dan tumbuh kembang sosial mereka. Memungkinkan mereka untuk selalu mengisi hari-hari mereka dengan kegiatan-kegiatan yang saya yakin berpengaruh besar terhadap pendewasaan diri.

Apakah berprestasi hanya berlaku bagi anak-anak?tentu saja TIDAK, saya pribadi juga selalu mencari tantangan-tantangan pribadi bagi diri saya sendiri. Setiap capaian yang berhasil saya lalui adalah penyemangat dalam menjalani hari-hari dan tentu saja saya berharap dapat menjadi role model bagi anak-anak saya, bahwa belajar, menyelesaikan tantangan adalah proses hidup yang tidak akan usai hingga akhir hayat :).


Friday, October 25, 2019

Pre Teen Parenting

19 Oktober kemarin usia anak mbarep udah 10 tahun. Kalo membandingkan dengan diri sendiri saat usia 10 tahun, rasa-rasanya anak sekarang sudah jauh berbeda, rasa ingin tahu yang sangat tinggi, pengetahuan yang lebih luas, tentu saja karena akses informasi juga lebih mudah.
Mulai deh ngerasain perubahan-perubahan yang kadang bikin takjub kadang bikin pengen meledak. Sebenernya udah mulai dari sekitar setahunan ini, mulai banyak pertanyaan-pertanyaan ajaib yang bikin ibu dag dig dug, takut salah jawab terus menuntun ke jalan yang salah.

Meski proses pre-teen ini belum terlewati, tapi pengen dituangin disini segala resah gelisahnya. Kalau kemarin bahas tentang pendidikan akademik, sekarang pengen bahas hal-hal non akademik, tapi masih berkaitan dengan proses tumbuh kembang anak. Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, kepindahan ke Abu Dhabi ini banyak membawa perubahan dan pengaruh besar, salah satunya adalah lingkungan pergaulan yang jauh lebih beragam dibanding dengan kehidupan di Ajman. Baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah.

Keberagaman ini tentu saja berpengaruh terhadap nilai-nilai yang selama ini kami ajarkan ke anak-anak, tidak sedikit perbedaan itu menimbulkan pertanyaan besar. Mulai dari pertanyaan tentang kenapa tato dilarang tapi banyak guru yang punya tato?, kenapa harus punya agama, apa itu gay?, kenapa temannya harus pindah karena ayahnya dipecat? sampai kenapa ibu menikah dengan orang Indonesia juga?
Bayangkan anda menerima pertanyaan itu di saat anda sedang mengemudi?

Kalau sudah menerima pertanyaan begini, biasanya saya akan meluangkan waktu khusus untuk membahas pertanyaan yang menurut saya "berat" dengan anak-anak, terutama yang mbarep. Bersyukur anak-anak mau berbagi pertanyaan-pertanyaan yang mebuat ibunya harus terus belajar.

Belum lagi perubahan sikap dan mood yang seperti roller coaster, yang 2 buan lalu masih cuek pake kaos bolong dikit, sekarang harus masuk tiap toko di mall hanya untuk menemukan jaket yang sesuai keinginan dia.
Yang sebelumnya main ke park cuek-cuek aja pake kaos main dan legging, sekarang bingung harus pake baju apa kalo mau ke park.

It's okay Nak...it's your time to explore more... just grow, we'll always stay by your side :)


Monday, October 21, 2019

Year dan Grade

Source : pinterest
Ada pengalaman yang sedikit kurang menyenangkan saat hari-hari pertama di sekolah baru, yang disebabkan rumitnya (perbedaan) kebijakan departemen Pendidikan di tiap emirates. Padahal ini bukan kali pertama kami pindah sekolah dengan lokasi emirates yang berbeda.

Satu hal yang sama adalah setiap siswa harus menyerahkan Emirates ID asli untuk mendapatkan SIS Number (atau seperti nomor induk siswa di Indonesia). Meski kami telah memutuskan untuk memilih sekolah berkurikulum British, ternyata setiap sekolah memiliki istilah berbeda untuk menunjukkan tingkatan siswa. Di sekolah pertama, Bloomington Academy Ajman, Atta diterima di Year 1, kemudian di sekolah kedua, School of Knowledge Sharjah, Atta diterima di Grade 2, selanjutnya di Amity International School Abu Dhabi, Atta diterima di Year 4.

Masalah terjadi pada saat Emirates ID Atta akan didaftarkan ke ADEK (Department of Education and Knowledge Abu Dhabi), selalu gagal. Akhirnya hari ke 2 sekolah saya mendapat telpon dari sekolah, mereka meminta kesediaan saya untuk memindah Atta ke Year 5. Padahal, sejak hari orientasi Atta dan ibunya sudah 'jatuh cinta' sama class teachernya :D. Akhirnya saya memutuskan untuk bertemu dengan Head of Primary dan meminta keterangan yang lebih detail.

Saya bertemu dengan Mr. Bobby, Assistant Head of Primary, karena tentu saja banyak hal yang saya khawatirkan, selain ada materi yang mungkin terlewati, kesiapan mental Atta untuk pindah kelas 'lagi' tentu akan sangat berat. Melalui Mr. Bobby, saya baru mengerti bahwa istilah Grade dan Year  memiliki perbedaan di UAE. meski di awal pemahaman saya, Grade biasa digunakan untuk sekolah dengan kurikulum America dan Year untuk sekolah dengan kurikulum British. Untuk materi belajar, menurut Mr. Bobby tidak akan ada yang terlewati, karena kurikulum British yang sifatnya spiral, setiap tahun akan mengulang materi yang sama dengan tingkat pendalaman yang berbeda, terlebih Year 4 dan Year 5 berada pada Key Stage yang sama, dalam hati saya juga sebenarnya juga yakin kalo Atta pasti bisa cepat beradaptasi untuk hal ini, karena metode belajar di sekolah sebelumnya mirip dengan sekolah di Indonesia.

Rasanya kepala mau pecah dan pengen menyalahkan MoE di Emirates sebelumnya, bagaimana bisa ada sekolah dengan kurikulum British memakai istilah Grade. Pengen protes juga ke ADEK, kenapa lebih memperhatikan istilah Grade dan Year ketimbang kurikulum yang digunakan sekolah sebelumnya. Tapi status saat itu kami belum 1 bulan pindah ke Abu Dhabi, tinggal di kawasan urban (teman-teman Indonesia banyak yang tinggal di tengah kota). Jadi akhirnya kami memutuskan menerima saja Atta di'akselerasi'kan ke Year 5.

Sepulang sekolah saya mengajak Atta bicara pelan-pelan, dan terjadilah ketakutan terbesar saya, pecah tangis Atta karena merasa sudah sangat nyaman dengan kelas dan guru barunya yang sudah 3 hari dijalani. Selain itu, kesulitan untuk memulai pertemanan baru juga mulai terjadi di tahun ini, entah karena Atta sudah merasa 'sedih' karena dipindah kelas secara 'paksa', perasaan menjadi yang paling muda di kelas, sungguh Ibu merasa pusing. Show must go on.....

Monday, October 7, 2019

Mencari Sekolah (Lagi)

Lanjutan cerita pindahan, meski masih 1 negara kami tetap harus memindahkan sekolah anak-anak, karena Abu Dhabi- Ajman tidak bisa ditempuh pulang pergi setiap hari. Proses kali ini tentu saja lebih mudah, karena kami ada waktu beberapa bulan sebelum tahun ajaran berakhir dan si Bapak udah mulai dinas di Abu Dhabi. Pada saat anak-anak libur term 2, kami memutuskan akan survey lokasi sekolah dan survey calon tempat tinggal. Sebelumnya, tentu saja tugas Ibu untuk riset sekolah-sekolah mana yang akan dituju dan sesuai dengan budget yang diberi perusahaan.

Bermodal tanya-tanya juga kira-kira kriteria apa yang harus jadi standar kami dalam mencari sekolah di Abu Dhabi, selain kriteria pribadi kami ya....
Karena sekolah anak mbarep berkurikulum UK alias British, dan si adek juga waktu itu pengennya ke sekolah yang sama tapi terkendala umur, jadi fokus pencarian di sekolah-sekolah berkurikulum UK alias British. Kriteria ke-2 adalah under budget, karena anak-anak masih Primary (SD), jadi budgetnya kudu dipikirkan untuk beberapa tahun mendatang, saat biaya sekolah menanjak. Biasanya untuk kurikulum British biaya akan berbeda setiap stagenya, semakin tinggi stage, semakin tinggi pula biayanya. Kriteria ke-3 Proses Belajar Mengajarnya harus seru, gak konvensional, karena prinsip kami, "Learning supposed to be fun", kalo bisa juga anak-anak mulai berkenalan dengan dunia nyata.

Salah satu panduan dalam pencarian sekolah ini adalah sistem rating dari ADEK (Abu Dhabi Department of Education and Knowledge). Jadi setiap tahun mereka akan mengeluarkan laporan tahunan untuk setiap sekolah di Abu Dhabi. Kalo cari sekolahnya di Dubai bisa lihat sistem rating dari KHDA (Knowledge and Human Development Authority) Dubai. Sistem rating ini juga yang akan memberi kesempatan bagi sekolah untuk dapat meningkatkan biaya sekolah.

OK, kembali ke pencarian kami, dari hasil riset dan konsultasi ke teman yang telah menjadi warga Abu Dhabi, shortlist sekolah tujuan pun akhirnya mucul, mulailah kami melakukan pendaftaran via email. Sayangnya sekolah-sekolah tersebut sudah penuh :(. Usut punya usut ternyata kalo cari sekolah kita bisa mulai sekitar bulan Oktober-Desember setiap tahunnya, karena saat itu sudah bulan Maret ya pilihan sekolahnya semakin sedikit, akhirnya pencarian mengerucut pada sekolah-sekolah yang baru dibuka.

Ada 2 sekolah yang waktu itu selalu muncul setiap Ibu melakukan riset, sayangnya lokasinya tidak di tengah kota, kawasan residensial yang masih relatif baru, keduanya letaknya berdekatan. Amity International School Abu Dhabi dan Aspen Heights British School. Keduanya hanya berbeda 1 tahun buka, Amity yang lebih awal. Jadi saat itu di Amity sudah ada kelas untuk secondary (SMP) sedangkan AHBS baru sampai level Primary. Akhirnya Ibu mendaftarkan dua krucils ini ke Amity, dengan pertimbangan Atta akan naik Grade 4, jadi dalam waktu 3 tahun sudah akan masuk Secondary.

Tak lama setelah mendaftar melalui email, kami mendapat respon untuk menentukan jadwal wawancara dan tes buat 2 anak ini. Sudah lupa tanggal tepatnya, tapi kami memilih menjadwalkan di hari Minggu, jadi kami bisa menghabiskan akhir minggu di Abu Dhabi. Sebelum ke hotel kami sempatkan dulu survey lokasi sekolahnya, dan terkagum-kagum dengan bagunannya yang terlihat baru dan besar, dengan pemandangan pantai di depannya.

Tibalah hari yang sudah kami jadwalkan, si Bapak ijin bolos kerja, untuk mengantar kami, karena lokasi sekolah yang jauh di pinggiran Abu Dhabi. Kalo sebelumnya kami cuma melihat bagian luar sekolah, kali ini kami masuk ke dalamnya, semakin takjub lihat eskalator dan lift dalam gedung sekolah, hahaha norak ya.
Hari itu, ada 2 hal yang akan dilakukan masing-masing anak, wawancara dan tes tulis, tujuannya hanya untuk mengetahui anak-anak sesuai ditempatkan di kelas apa, Amity adalah sekolah inklusif, artinya akan menerima anak dengan kebutuhan khusus dan akan menyediakan bimbingan/fasilitas tambahan.

Setelah wawancara dan tes selesai kami meminta kesempatan untuk dapat melakukan tur keliling sekolah. Melihat-lihat hingga ke setiap ruang kelas, fasilitas, dan hasil karya anak-anak murid. Dan sekali lagi kami dibuat terperangah dengan fasilitas dan kegiatan yang akan dilakukan anak-anak kami jika mereka dapat bersekolah disini. Satu hal yang sangat berkesan adalah Marine facilities, jadi ternyataaa.....pantai di depan sekolah itu bukan hanya indah dipandang, tapi adalah salah satu ruang kelas bagi anak-anak belajar berlayar, jadi memang yang menjadi program andalan di sekolah ini salah satunya adalah Marine Life. Dan di kemudian hari, kami juga tahu ada program Beach Clean Up setiap tahunnya. Oh NOOOOO.......Ibu yang memang sangat menggilai laut semakin jatuh cinta deh....

Alhamdulillah seminggu setelahnya kami mendapat kabar bahwa Atta akan diterima di Year 4 dan Affa di Year 1. Ah, lega sudah hati orang tua saat anak-anak sudah mendapat sekolah dan anak-anak pun bahagia melihat sekolahnya yang baru nanti. Semakin tidak sabar mereka untuk segera pindah ke Abu Dhabi.

*Untuk kata yang tercetak tebal akan ada cerita khusus di tulisan selanjutnya

Monday, September 23, 2019

Update Status (Tempat Tinggal)

Update status tempat tinggal baru yang telat 1 tahun, biar terlambat yang penting update yah :). Jadi yaaaa 17 Agustus 2018 kami sekeluarga pindah tempat tinggal, masih di negara yang sama tapi beda wilayah. Dari kota kecil di utara UAE, Ajman, kami pindah ke ibukota Abu Dhabi, meski tidak tinggal di tengah kota, kawasan urban bisa dibilang, tapi sudah dalam wilayah Abu Dhabi.

Kalo dijelaskan sih berasa keren ajahlah daerah tempat tinggal kami sekarang, 10 menit dari Yas Island, iya Pulau Yas yang terkenal buat balapan F1 itu. Tapi ya emang jalanan disini besar-besar, kalopun lagi ada kompetisi F1 yang lengkap dengan segala afterrace concert nya gak akan kena efek macet or ribut-ribut.

Trus tempat tinggal kami juga sebelahan ama bandara Abu Dhabi, pas awal-awal pindah agak kaget juga denger suara pesawat distater ((STATER)), kedengeran jelas doooong dari atas kasur di bawah selimut. Alhasil acara leyeh-leyeh pagi jadi gagal :D.

Oh ya, sebelum pindah Abu Dhabi, aku berhasil dapetin Driving License alias SIM Dubai (yeayyy), yang bikin bangga pada diri sendiri sih karena berhasil ambil SIM sekali jadi, alias langsung bisa lulus semua tahapan tes :). Karena secara mitos, bikin SIM Dubai itu susaaah dan mahal sekali sodara-sodara. Plus lagi dapetnya cuma berlaku 2 tahun, setelah itu harus perpanjang lagi untuk dapat 5 tahun berlaku. Ah memang hidup di Arab sekarang kudu tabah, biaya hidup makin tinggi, makin banyak biaya ini itu #curhat. Dan akhirnya petualangan saya di jalan dimulai lagi.

Truuuusss....Alhamdulillah bangetnya, pekerjaan si bapak yang sekarang kasi school allowance buat anak-anak. Jadi ya, alhamdulillah akhirnya anak-anak bisa masuk sekolah Internasional yang hampir sesuai dengan keinginan dan kriteria. Pas awal survey sekolah kita udah ngiler aja, liat daftar olahraganya ada Sailing. Langsung lah emaknya yang pecinta olahraga air ini memberi restu. Ditambah lagi daerahnya juga pas, antara Abu Dhabi dan Dubai. Karena si Bapak kadang harus ke Abu Dhabi, seringpula kudu ke Dubai.

Overall, kepindahan kami ke Abu Dhabi ini banyak membawa dampak positif bagi anak-anak, ibu dan bapaknya. Fasilitas umum di Abu Dhabi buat olahraga dan beraktivitas juga jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan Ajman, soal harga juga lebih terjangkau daripada Dubai. Eh tapi untuk sewa rumah Abu Dhabi ini termasuk yang paling mahal ya di UAE.

Gimana perjuangan kami di Abu Dhabi nanti bakal dituangkan di tulisan-tulisan selanjutnya, siap-siap dulu jemput anak-anak

Wednesday, March 22, 2017

Tentang Affa

25 November 2012, jam 4 pagi waktu KSA kami bergegas menuju rumah sakit, sebelumnya mampir dulu untuk menitipkan Atta ke rumah teman. Proses kelahiran Affa lebih lama dibanding Atta, setelah pada posisi bukaan 2 selama hapir 2 minggu, akhirnya kontraksi terasa kuat dan frekuensinya teratur.
Jam 5 pagi, setelah shalat subuh, perawat sudah meminta saya untuk tiduran di ruang bersalin, kali ini ditemani suami, yang pada saat itu berstatus jobless alias lagi nganggur. Jam 7 pagi dr. Nadya Shaleh, seorang dokter Mesir datang dan akan memulai proses kelahiran, karena sudah bukaan penuh, selama 45 menit berjuang mengeluarkan Affa, karena posisi bayi yang masih tinggi, jadi saya harus mendorong lebih kuat.

Alhamdulillah, jam 07.45, lahir Amalia Falisha dengan berat 3,950kg dan panjang 51cm. Amalia memiliki arti pekerjaan dan Falisha berarti kebahagiaan, sebagai penanda bahwa saat dia dilahirkan kami sedang menanti pekerjaan pengganti sebelumnya. Arti lengkapnya, kami ingin Affa bisa berusaha mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.


Secara fisik tumbuh kembang Affa tidak berbeda jauh dengan Atta, milestone-milestone tumbuh kembang dilalui dengan baik....hingga saat seharusnya dia mulai belajar berbicara, kami memahami memang sedikit lebih lambat dari kakaknya. Affa adalah bayi yang murah senyum, dia mengerti segala yang kami ucapkan, tapi tidak mudah buat dia untuk menirukan ulang perkataan kami. memang stimulasi yang saya berikan juga berbeda dengan Atta. Karena saat itu, ayahnya bekerja di luar kota, jadi saya yang sibuk antar jemput Atta sekolah dan mengurus segala kebutuhan rumah, saat sudah di rumah sudah terlalu lelah untuk meluangkan waktu secara khusus buat Affa.
Praktis, hanya saya ajak bernyanyi di mobil, saat perjalanan kesana kemari dan hanya ngobrol-ngobrol ringan tanpa bisa bertatap muka secara langsung.

Perkembangan kemampuan motorik Affa sangat bagus, dia lincah sekali bermain monkey bar, naik turun di Playground, tidak ada rasa takut. Memang kami selalu menyempatkan untuk mengajak anak-anak bermain di tempat terbuka dan taman-taman bermain publik.


Hanya 2 tahun di Surabaya, kami harus pindah lagi ke UAE, pada saat Affa berusia 2,5 tahun. Hanya beberapa kata yang bisa dia ucapkan, belum bisa merangkai kalimat, jadi kami putuskan untuk tidak memasukkan Affa ke playgroup dulu, tapi fokus meningkatkan kemampuan linguistiknya. Namun hingga usia 3,5 tahun perkembangan yang kami peroleh belum terlalu banyak, dan akhirnya kami masukkan Affa ke Playgroup. Hingga 2 bulan pertama, guru-gurunya selalu mengeluhkan Affa yang tidak mau berbicara.

Beruntung di apartment tempat kami tinggal, ada keluarga dari Nigeria yang memiliki anak-anak sepantaran dengan Atta dan Affa, dan mereka berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Hampir setiap hari mereka bermain bersama, ditambah dengan pengalaman di sekolahnya, kemampuan linguistik Affa menigkat dengan pesat. Sudah mampu merangkai kalimat bahasa Inggris yang kadang suka campur-campur dengan bahasa Indonesia, paham jika kami berbicara dalam bahasa Indonesia. 

Selain motorik kasar, kemampuan motorik halus Affa juga berkembang lebih cepat daripada kakaknya, dia sering ikut menggambar dengan pensil, bermain cat air dengan kuas, dan merangkai manik-manik plastik yang memang sering saya beli untuk mengisi waktu bermain anak-anak. Affa pun memiliki ketertarikan lebih untuk menyusun balok-balok lego dibanding dengan Atta. Seiring kemampuan berbicara yang meningkat, dia bisa menjelaskan apa yang sedang dia bangun. Di sekolah pun hasil karyanya sudah rapi, mewarnai, bahkan sering membuat warna-warna gradasi jika mewarnai suatu objek. 

Saat ini milestone besar yang harus kami perjuangakan adalah mengenalkan Affa alfabet dan mengajarinya membaca. Pekerjaan ini lebih menantang dibanding saat dengan Atta, yang memiliki cara belajar auditori dan visual. Seiring waktu kami menyadari memang kedua anak ini memiliki cara belajar yang berbeda, Affa belajar secara kinestetik dan visual. Affa sangat mudah menulis ulang huruf-huruf alfabet, tapi untuk membunyikan huruf itu, masih sering tertukar dan sering pula hanya menjawab dengan senyum manisnya sambil geleg-geleng kepala. Yang unik lagi, saat melihat seuah kata, dia akan menghitung jumlah masig-masing huruf yang merangkainya. Pernah saat saya memakai kaos bertuliskan "Fotografi", dia menggumam "there are 2 F...A, O". Ya saat ini dia sudah pandai berhitung 1-10 dalam bahasa Inggris.

Hari ini pun saya dibuat terharu dengan hasil karyanya....

Wednesday, March 8, 2017

Sekolah Baru

September 2015, tahun ajaran baru bagi Atta di UAE. Untuk transportasi kami memilih menggunakan bus sekolah, Pelajaran yang diperoleh untuk grade 1 adalah Science, Mathematic, English, Arabic, Islamic, Art, Music, dan Physical Education.
Pengalaman bersekolah dengan teman-teman yang berbeda negara asal sangat menyenangkan buat Atta.

The Bloomington Academy Ajman baru memasuki tahun kedua setelah berdiri, jadi saringan masuk hanya dilakukan berdasar interview dengan calon siswa.
Sebenarnya setelah mengikuti pendidikan dengan kurikulum IB, sistem pendidikan dengan kurikulum British terasa konvensional. Kegiatan belajar lebih banyak dilakukan secara searah. Tetapi, beban belajar tidak seperti pengalaman teman-teman yang anak-anaknya bersekolah di Indonesia.
Di TBAC, exam atau ujian hanya dilakukan setelah grade 3, untuk grade 1 dan grade 2 hanya dilakukan class assesment.

Dengan situasi sekolah yang seperti itu, iklim kompetisi antar siswa sangat tidak terasa, jadi kami bisa fokus pada pemahaman Atta pada pelajarannya. Akan tetapi, tantangan belajar juga jadi kecil, keinginan Atta untuk belajar juga jadi rendah. Disamping itu  kualitas dan biaya yang kami keluarkan tidak sepadan, kami berpikir untuk memindahkan sekolah Atta.
Jadi setiap tahun Atta berganti sekolah, alhamdulillah sejauh ini Atta tidak memiliki masalah adaptasi, belum ada pengaruh secara akademis.

Di sekolah kedua, School of Knowledge Sharjah, terkenal sulit untuk bisa diterima menjadi murid sekolah ini, mungkin karena biaya sekolahnya termasuk rendah, dan lulusannya terkenal pinter-pinter. Ada saringan masuk, tes tulis dan interview, saya rasa ini yang membuat standar belajar jadi lebih baik. Bagaimanapun tentu lebih mudah bagi guru untuk memberikan pelajaran jika kemampuan siswa sudah bisa dikatakan sama.




Monday, February 27, 2017

Memilih Sekolah Baru

Sudah lama tidak update pengalaman belajar anak-anak, karena berbagai alasan, sibuk, sok sibuk, malas dan sedang mengeksplorasi hal-hal lain. Berkat desakan tean, akhirnya saya menulis lagi hehe.
Setelah 1 tahun 6 bulan tinggal di tempat baru, banyak pengalaman yang bisa saya bagi tentang pengalaman belajar anak-anak.

Ajman, salah satu Emirate dari negara UAE, terletak lebih kurang 40 km dari Dubai. Populasi di Ajman didominasi oleh imigran India dan Pakistan. Jumlah imigran di UAE sekitar 70% dari total jumlah penduduknya, menjadikan kehidupan di UAE sangat dinamis. Hal ini pula yang membuat jumlah sekolah internasional lebih banyak dibandingkan sekolah nasionalnya, bahkan penduduk lokal pun lebih memilih untuk bersekolah di sekolah internasional.

Sekolah Internasional di UAE, menerapkan berbagai macam kurikulum di bawah pengawasan Ministry of Education (MoE) UAE. Kurikulum yang paling menonjol digunakan antara lain kurikulum Inggris (British Curriculum), Cambridge, CBSE (Indian curriculum), American Curriculum, dan International Baccalaurate (IB).

Tentu saja ada perbedaan kultur yang lumayan jauh dengan kehidupan di Dubai. Dubai, kota metropolitan, yang dihuni beraneka ragam suku bangsa, menyediakan akses pendidikan internasional yang cukup beragam, dengan harga yang sedikit di luar jangkauan kuli expat. Tidak susah untuk menjadi bagian dari sekolah yang benar-benar internasional, yang pola pendidikannya "bule" banget, guru-gurunya pun bule, asal punya budget yang memadai pula.

Berbeda dengan di Dubai, jumlah dan varian sekolah internasional tidak sebanyak di Dubai, bahkan sekolah internasional yang menerapkan kurikulum Inggris (British) baru ada 2. Sebelumnya, sekolah-sekolah di Ajman didominasi sekolah berkurikulum India (CBSE) dan American Curriculum. Berbekal hasil browsing dan baca-baca forum expat, kami memilih sekolah yang menerapkan kurikulum Inggris. Kenapa tidak kurikulum Amerika, karena sekolah yang menerapkan kurikulum Amerika di Ajman rata-rata "arab" banget, guru dan staff seringkali tidak bisa berbahasa Inggris, dan yang paling kami khawatirkan adalah budaya bullying di sekolah-sekolah arab.

Tahun pertama kami memilih sekolah baru, ya karena daftar sekolah disini ada antriannya, terutama sekolah-sekolah yang banyak direferensikan di forum expat, ada tes masuk, yang biasanya diselenggarakan di bulan Januari-Februari untuk tahun ajaran yang dimulai buan September. Sekolah pertama Atta di UAE adalah The Bloomington Academy Ajman. Affa, di rumah saja dulu, mengingat kantong yang masih susah bernafas karena di awal pindah masih banyak keperluan yang harus dipenuhi, biaya pindahan, visa, sewa apartemen, beli isi apartment, dan beli mobil.
Ya, dengan keterbatasan biaya kami tidak bisa menyekolahkan Atta di sekolah dengan kurikulum IB, yang hingga saat ini adalah kurikulum yang menurut kami sangat ideal untuk pendidikan anak. Sebagai konsekuensinya, kami berusaha untuk tidak menuntut Atta untuk menjadi yang terbaik. Lebih mengutamakan proses dan pemahaman dalam belajar, dibandingkan hasil belajarnya.

Thursday, January 8, 2015

Jurnal Belajar Anak-Anak (2)

Fase Play School

Usia 2,5 tahun, Atta sudah mulai lancar berkomunikasi secara lisan, dan sudah memiliki kebutuhan bersosialisasi dengan teman sebaya. 
Akhirnya kami memutuskan untuk mendaftarkan Atta ke sebuah play group. Berbekal tanya sana sini kepada teman-teman yang sudah lebih lama tinggal di Riyadh,
kami memilih Play School di Kingdom Compound.

Compound adalah kompleks perumahan yang dikhususkan bagi expatriat (berduit), karena sewanya bisa 3-5 kali lipat apartment biasa.
Di dalam compound, kita bisa hidup selayaknya di negara lain, tanpa perlu memakai abaya, bisa berolahraga dengan bebas, rumah yang terbuka, fasilitas lengkap
mulai dari sport hall hingga kolam renang. Keamanan yang terjamin, karena setiap pengunjung compound selalu diperiksa oleh tentara Saudi di pintu gerbangnya.
Ya...hidup di Saudi penuh keterbatasan, untuk bermain badminton, bersepeda, main bola di Public Park, kami, para wanita bisa kena tegur Muttawa,
dan untuk bergabung dengan pusat kebugaran khusus wanita adalah sebuah kemewahan.

Sebelum masuk Play School kami tidak pernah secara khusus membekali Atta dengan bahasa Inggris, bahasa pengantar di Play School.
Ada sekitar 15-20 anak, usia 1,5-4 tahun yang tergabung dalam Play School di Kingdom Compound, yang ditangani oleh 1 guru dan 2 asisten.
Guru Atta, Ms. Rana, keturunan Lebanon yang mengenyam pendidikan di Amerika. 2 Asisten Ms. Kusuma, dari Srilanka dan Ms. Daisy dari Philipina.
Murid-murid nya berbagai macam kewarganegaraan, South Africa, Singapore, Malaysia, dan beberapa negara Eropa. Jadi tidak semua anak menggunakan Bahasa Inggris
di rumahnya.
Bersyukur sekali Atta mendapat pengalaman seperti ini, Atta jadi lebih menghargai keberagaman.
Gurunya pun mengenalkan keberagaman itu, misal menunjukkan warna mata yang berbeda. Pernah suatu saat sepulang sekolah, Atta bilang pengen matanya warna biru,
seperti Renee yang dari Belgia :).

Sekolahnya terdiri dari beberapa ruangan, Ruang bermain, yang paling luas. Outdoor playground, tempat favorit anak-anak untuk bermain pasir,
ruang belajar dengan meja melingkar, ruangan belajar kecil untuk anak-anak yang hampir lulus (usia 4 tahun). Toilet untuk anak-anak yang dibedakan untuk anak laki-laki
dan perempuan. Tidak ada seragam, dan tidak harus memakai sepatu. Jam belajarnya pun termasuk lama, jam 9-12, 5 hari seminggu. Orang tua hanya mengantar dan menjemput.
Tidak boleh menunggu di depan kelas, sejak hari pertama. Seminggu pertama biasanya anak menangis, tapi selanjutnya anak gak mau pulang :D.
Sempat bertanya, bagaimana jika anak menangis, "It's our job to calm him/her!" jawab gurunya.

Dalam 1 tahun biasanya sekolah 2 kali mengadakan field trip, pada waktu Atta menjadi murid, field trip dilakukan ke private zoo di compound yang lain, dan ke petshop.
Dan sekali lagi, hanya 2-3 orang tua yang menjadi sukarelawan ikut, yang lain DILARANG ikut.
Ada 1 foto yang diberikan kepada saya, jadi anak-anak itu diajak untuk berpegangan pada tali tambang agar tetap berada dalam rombongan.

Atta sangat menyukai sekolah, saat tidak enak badan pun dia akan menangis kalau dilarang sekolah. Pulang sekolah pun, dia selalu ingin tinggal lebih lama.
Pada awal masuk sekolah, Atta sedang proses Toilet Training, masih sering bocor (pipis di celana), tapi gurunya melarang saya untuk memakaikan diaper, hanya perlu
menyimpan satu set baju ganti di sekolah. Jadi proses toilet trainingnya berjalan lebih cepat.
Tiap pulang sekolah sepatu atau sandalnya selalu penuh pasir, tidak peduli musim panas (hingga 50 derajat) ataupun musim dingin (hingga 0 derajat).

Untuk anak-anak dengan usia di atas 2 tahun sudah mulai dikenalkan alphabet, menulis, melafalkan, dan belajar menggunakannya.
Tidak ada buku dan tidak perlu membawa alat tulis, hanya worksheet yang disiapkan guru setiap hari untuk dikerjakan anak-anak di sekolah, semampunya, tidak ada PR.
Worksheet biasanya ada gambar benda yang diawali huruf tersebut, kemudian tracing penulisan huruf.
Untuk pelafalan, mereka dikenalkan dengan metode phonics, makhraj huruf sangat diperhatikan, misal untuk melafalkan bunyi P "Peh" anak-anak meletakkan kertas tisu
di depan bibirnya, melafalkan "Peh" kertas tisunya harus sampai bergerak.
Lewat lagu, A is for Apple, Ah Ah Apple, B is Bear, Beh Beh Bear, yang kadang diganti dengan nama-nama anak di kelas.

Dalam sebulan gurunya mengatakan bahwa Atta sudah lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, menjawab kekhawatiran saya di awal masuk sekolah.
Selain Bahasa Inggris, di sekolah juga diajarkan Bahasa Arab dan Perancis, hanya pengenalan.
Di rumah, kami tetap berbahasa Indonesia.

Sebulan sebelum tahun ajaran berakhir, kami harus pulang ke Indonesia, sedih sebenarnya, khawatir Atta tidak mendapat sekolah baru yang layak.
Gurunya berpesan, agar memasukkan Atta ke sekolah berbahasa Inggris, karena kemampuan linguistiknya bagus, sayang kalau hilang.

Di luar kegiatan sekolah, kami rajin mengajak Atta bermain di Public Park. Seringkali, kami pergi berombongan beberapa keluarga piknik di taman :).
Hal yang akan dicibir kalo dilakukan di Indonesia :D. Ibu-ibu bawa bekal makanan-makanan ringan, bapak-bapak menyiapkan sepeda atau alat-alat bermain buat anak-anak.
Kadang, ada story telling, menggambar/melukis. Hal-hal kecil dan sederhana yang sangat saya rindukan setelah saya pulang ke Indonesia.
Alhamdulillah, Surabaya punya bu Risma yang sudah menyediakan banyak Public Park di tengah kota, meskipun sangat tidak mungkin dipakai buat piknik, paling tidak 
anak-anak dapat bermain bebas di ruang terbuka.

Pulang ke Surabaya, mulailah kami berburu sekolah, tak apalah meski hanya sebulan lagi tahun ajaran usai, untuk mengisi kegiatan saja, karena kepulangan yang bisa
dibilang mendadak, kami terpaksa nebeng orang tua.
Jadi kurang leluasa untuk memberi kesibukan bagi Atta, seperti saat sebelum bersekolah.
Oh ya, sedikit catatan, untuk masa pra sekolah, karena saya tidak memiliki asisten rumah tangga, jadi saat saya masak, yah Atta ikut mengeksplorasi dapur, kadang 
dia sibuk dengan kuas dan cat air di meja khusus yang memang saya siapkan buat kegiatannya. Atau kadang yah dengan terpaksa Atta nonton kartun anak di TV 
atau yang sudah didownload ayahnya.

Tinggal di Surabaya Barat, kami mencari sekolah-sekolah internasional, dengan pengantar Bahasa Inggris, agak susah, karena mayoritas penduduk etnis Cina,
kalau tidak sekolah kristen ya sekolah internasional, yang tidak ada muatan lokal dan agama.
Setelah browsing, kami menemukan Sekolah Cikal, sudah terkenal di Jakarta. Di Surabaya baru berjalan tahun kedua. Sekolah Cikal ini didirikan oleh Najeela Shihab,
putri dari Quraish Shihab, Sekolah National Plus, lebih jauh akan tergambar saat saya menceritakan Fase sekolah TK.
Kami daftarkan Atta untuk masuk kelas Pre-K disana, Bahasa yang digunakan 50:50, Bahasa Indonesia dan Inggris, ada pelajaran Agama Islam, dan sama, orang tua hanya
mengantar jemput, meskipun seminggu hanya 3 kali. Karena kami sekaligus mendaftarkan Atta untuk sekolah TK disana, maka ada proses interview oleh seorang psikolog,
yang juga mengobservasi Atta di kelas.
Menurut si Psikolog, Atta ini cenderung diam dan kurang pede untuk menyampaikan pendapatnya, sempat merasa jadi tertuduh juga saya terlalu mengatur anak :(.
Sampai saat ini, masih belum menemukan jawaban yang tepat, karena dengan saya atau ayahnya, Atta selalu bebas bertanya dan bercerita apa saja, hanya dengan orang
asing/baru Atta cenderung tertutup.

Tuesday, January 6, 2015

Lateral Thinking Sebuah Pembelajaran

Kebebasan menggunakan pikiran, adalah garis besar yang saya peroleh setelah membaca Lateral Thinking nya Edward de Bono.
Salah satu penulis yang direferensikan pak Thoha.
Beberapa hal yang saya rangkum dari buku ini bisa dibaca di blog saya.

Hal paling mendasar yang harus kita tanamkan pada pikiran kita sebagai orang tua, bahwa belajar adalah proses.
Seringkali hal mendasar ini lenyap seketika, sejalan dengan keinginan memiliki anak yang berprestasi, memperoleh nilai tinggi, jadi yang paling 'pinter'.
Karena secara tidak langsung kita menuntut anak-anak kita untuk hanya memberikan jawaban yang paling benar, paling bagus, paling tepat.
Kita mematikan hal-hal lain yang mungkin terbersit di pemikiran anak-anak kita, yang dapat memperkaya pemikiran mereka, dengan memberikan label ini salah, itu benar.
Membunuh kreativitas :(, ya itulah yang perlahan sedang kita lakukan.
tentu saja lebih mudah menuliskan hal ini daripada impelementasinya, saya juga harus belajar banyak.

Bukan berarti pendekatan berpikir secara efektif (yang selama ini kita kenal), untuk mencari kebenaran mutlak harus dihilangkan, dalam bukunya Edward de Bono
memberi istilah Vertical Thinking.
Idealnya, setiap anak dapat berpikir secara vertical dan dilengkapi dengan kemampuan berpikir secara lateral.
Susah....ya memang tidak mudah.
Dan karenanya, pendidikan buat anak bukan hanya tanggung jawab sekolah.
Biarkan mereka belajar berpikir secara vertikal di sekolah, di rumah kita kembangkan pola pikir lateral mereka.
Ya, memang kita harus mau meluangkan waktu untuk mereview kembali pelajaran mereka di sekolah.

Ada beberapa masukan yang diberikan pak Thoha dari diskusi mengenai Lateral Thinking ini.
1. Sebaiknya sebagai pendidik, kita tidak gampang menilai salah atau benar, jika "salah" pandulah anak sehingga mereka dapat menemukan kesalahan mereka sendiri. Jika benar, ajak anak untuk mengeksplorasi dan mencoba cara yang lain.

2. Salah satu cara praktis untuk melengkapi pola pikir vertical dengan pola pikir lateral adalah mengubah PERNYATAAN menjadi PERTANYAAN.

3. Belajar dari kesalahan lebih ampuh daripada belajar dari kebingungan. Selalu dorong anak untuk berani
berpendapat, jika benar, eksplore lebih dalam lagi, jika salah tantang dia untuk membuktikan bahwa dia benar, hingga dia bisa menemukan kesalahannya sendiri.

Thursday, January 1, 2015

Jurnal Belajar Anak-Anak

Fase pra sekolah
Text book banget, mungkin ini kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana pembelajaran Atta yang saya lakukan sejak lahir.
Berbekal beberapa buku panduan untuk merawat anak umur 0-3 tahun.
Salah satu kekhwatiran terbesar waktu itu adalah kemampuan linguistiknya
Karena sejak umur 6 bulan Atta sudah kami ajak migrasi ke KSA.
Kultur negara KSA yag sangat tertutup membuat ruang gerak saya (perempuan), terutama yang tidak punya bekal kemampuan bahasa Arab menjadi sangat terbatas.
Menjadi sangat bergantung pada suami, bahkan untuk membeli garam sekalipun.
Jadi sehari-hari Atta hanya berkomunikasi dengan saya, dan malam hari ditambah dengan ayahnya, dan ayahnya dulu sangat pendiam :(.
1-2 kali seminggu, barulah Atta bisa bertemu teman-teman sebayanya, saat saya datang pengajian ibu-ibu Indonesia dan play date dengan beberapa teman.

Sempat ada rasa takut, karena sampe usia 2 tahun Atta belum banyak bicara, sementara teman sebayanya sejak usia 10 bulan sudah mulai bicara.
Oh ya, saya termasuk yang berkeyakinan untuk tidak memasukkan anak ke dunia sekolah sebelum dia bisa berkomunikasi dengan bahasa ibunya.

Pada waktu itu kami beranggapan, Atta lebih lambat kemampuan bicaranya, karena dia terpapar lebih dari 2 bahasa, saya dan suami seringkali berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Komunikasi dengan Atta menggunakan bahasa Indonesia.
Jika saya berkomunikasi dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris.
Dan saat berada di ruang umum, Atta mendengar bahasa Arab.
Termasuk acara televisi anak-anak yang ditonton waktu itu, berbahasa Arab dan bahasa Inggris.

Akhirnya ayahnya download lagu2 anak2 dengan bahasa Indonesia, yang selalu kami perdengarkan di mobil.
Buku-buku yang saya bacakan pun, selalu berbahasa Indonesia.
Alhamdulillah antara usia 2-2,5 tahun Atta mulai lancar bicara berbahasa Indonesia. 
Kosakatanya banyak, pengucapannya pun tepat.

Entah kesimpulan saya benar atau tidak, dan sebenarnya masih terjadi hingga saat ini, dalam mempelajari sesuatu, Atta termasuk yang perfeksionis.
Dia tidak berani (yah...menurut saya ini satu kelebihan sekaligus kekurangan) menunjukkan kemampuannya, saat penguasaannya belum betul-betul sempurna.
Saat pengucapan kata nya belum tepat, Atta tidak mau mengeluarkan kata-kata sama sekali.

Pada adiknya, Affa hampir sama kasusnya, saat ini Affa 2 tahun lebih 2 bulan, dan kosakatanya sangat sedikit. 
Usia 4 bulan Affa kami bawa pulang ke Indonesia, Affa terpapar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia lebih banyak, tetapi saat bermain dengan Atta (intensitasnya sangat tinggi) Atta menggunakan 2 bahasa,Inggris dan Indonesia.
Televisi berbahasa Inggris, kebetulan di rumah menggunakan TV berbayar, jadi anak-anak hanya nonton program Disney Junior.

Ya Atta menjadi bilingual, seringkali dia malah tidak paham istilah bahasa Indonesianya.
Bagi Atta hal ini sudah bukan lagi masalah, karena dia sudah memiliki kemampuan untuk membedakan, termasuk saat dia membaca atau mendengar kata-kata baru dalam bahasa asing.
Tapi bagi Affa, tentu berbeda, saya masih berjuang agar Affa segera lancar berbicara, agar saat kami ajak migrasi nanti Affa siap menerima banyak bahasa.

Thursday, December 25, 2014

Lateral Thinking (2)

Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara Teknik berpikir Vertikal (Vertical Thinking) dan Teknik Berpikir Lateral (Lateral Thinking).

Vertical Thinking :
- Bersifat memilih opsi yang paling benar
- Menuntut selalu benar "Rightness"
- Memilih dengan cara menghilangkan faktor-faktor yang tidak berkaitan
- Hanya menganalisa pendekatan yang paling mendekati
- Menghentikan pencarian hanya sampai menemukan solusi/pendekatan yang paling menjanjikan
- Hanya bergerak sesuai dengan arahan

Lateral Thinking :
- Bersifat menghasilkan banyak opsi atau alternatif
- Menuntut kekayaan alternatif "Richness"
- Mencari alternatif dari setiap opsi yang ada
- Tetap melakukan pencarian meskipun telah menemukan solusi/pendekatan yang menjanjikan
- Bergerak untuk mencari arah

Dari beberapa perbedaan tersebut seringkali kita menyebut pola pikir vertikal sebagai pola pikir yang efektif.
Sedangkan pola pikir lateral bekerja dengan memanfaatkan informasi yang telah tersimpan dalam otak dengan cara mengubah pola "pattern"  (Lateral Thinking), bukan dengan tujuan mencari jawaban yang paling benar tapi dengan penyusunan pola yang berbeda yang akan menstimulasi cara pandang yang berbeda dalam memecahkan suatu masalah.

Lateral Thinking bersifat komplementer, tidak menghilangkan kebutuhan akan vertical thinking, tetapi memperkaya kemampuan berpikir seseorang.

Beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk melatih kemampuan berpikir secara lateral, antara lain :
1. Membiasakan untuk menghasilan beberapa alternatif
    misal : - ada berapa cara untuk menghasilkan angka 49
                - ada berapa alternatif untuk menuju Jakarta dari Surabaya
                - ada berapa alternatif untuk membangun suatu bentuk geometri
   Alternatif yang dihasilkan dapat berupa, alternatif pernyataan permasalahan dan alternatif
   pendekatan penyelesaian permasalahan.
   Dengan melatih ini kita diharapkan terbiasa untuk mengoptimalkan seluruh pola yang telah
   tersimpan di otak.

2. Mendeskripsikan asumsi dalam setiap alternatif yang dihasilkan dan meguji (mempertanyakan)
    setiap asumsi yang diberikan bagi setiap alternatif. Why? Why? dan Why?

3. Menunda penilaian, hargai setiap alternatif yang dihasilkan. Penilaian, terutama yang negatif dapat
    menghambat kinerja dalam menghasilkan alternatif, yang pada akhirnya menghambat kemampuan
    untuk mengubah pola (pattern). kebutuhan untuk selalu benar dapat menghambat proses kreatif.

4. Desain, mebiasakan mevisualisasikan pemikiran. Proses visual dapat membantu mendetailkan
    alternatif perubahan pola (pattern)

5. Dominant Ideas and Crucial Factor , pemahaman saya adalah kemampuan untuk menemukan
    constrain dan inti dari permasalahan -----> kok jadi mengarah ke vertical thinking???

6. Fractionation, bertujuan untuk menyediakan material yang dapat digunakan untuk
    merestrukturisasi pola, dengan cara membagi/membelah suatu alternatif menjadi bagian yang
    lebih kecil (breakdown)

7. The reversal method, melihat suatu permasalahan dari ujung yang berbeda, untuk menghasilkan
    alternatif baru, diawali dengan perubahan pernyataan (statement) permasalahan.

8. Brainstorming

9. Analogi, contoh : dalam simbol-simbol matematika
    Tapi seringkali analogi ini malah menutupi "permasalahan" yang sebenarnya ????

10. Memilih Entry Point dan Attention Point
      Masih overlap dengan pemahaman no. 5

Dan beberapa yang belum paham
11. Random stimulation
12. Consepts/Division/Polarisation

Dari beberapa pemahaman tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan di benak saya :
1. Bagaimana cara menjadikan habit untuk menunda penilaian, karena kita terbiasa berpikir dalam
    pola benar dan salah, sehingga berat untuk menerima alternatif/pemikiran yang sudah masuk ke
    area SALAH

2. Dari banyak metode melatih pola pikir lateral, bagaimana melatih memilih metode yang sesuai?
3. Kapan dan bagaimana menerapkan pola pikir lateral dalam ilmu pasti?ilmu sosial?
4. How far to be wrong for aiming to be right dalam ilmu pasti?
5. Saat kita tahu anak salah apakah :
   a. langsung diberitahu salahnya, dan dibenarkan
   b. Beri kesempatan berpikir (butuh waktu)
   c. mengarahkan pada kesimpulan yang benar (tekniknya???)

Well it's juat a note...not conclusion yet


Tuesday, December 23, 2014

Lateral Thinking

Tergelitik oleh diskusi dengan pak Thoha di WA beberapa hari lalu : Persepsi (input) dapat digeser maka keyakinan (output) dapat berubah pula.
Pas baca pernyataan ini sih masih gak ngeh yang dimaksud apa, sampai sekarang mungkin juga belum paham banget, tapi karena sudah mulai membaca Lateral Thinking milik Edward de Bono, yang disarankan pak Thoha, jadi sedikit ada pencerahan, sedikiiittt.......baru sedikiiiiit :)

Menurut Edward de Bono secara alami otak kita ini menyimpan informasi dalam bentuk pola dan mengatur penggunaan informasi sesuai dengan pola yang sudah terbentuk. (mind as patternmaking and self organize ability). Selanjutnya dalam mengolah informasi otak kita fokus (limited attention span) pada pola tertentu yang telah disimpan dan bekerja sesuai urutan informasi yang masuk.

Karakteristik ini banyak memberi keuntungan pada hal-hal praktis, tetapi juga memiliki keterbatasan, dalam melakukan restrukturisasi pola dan urutan informasi. Sehingga seringkali kita  melewatkan gagasan-gagasan yang lebih baik.

Kemampuan untuk menggeser persepsi (input) sehingga menghasilkan keyakinan (output) yang baru merupakan salah satu bentuk kemampuan berpikir secara lateral. Memberikan ide-ide baru dalam menghadapi suatu permasalahan,

Masalahnya bagaimana mengasah kemampuan berpikir secara lateral ini?

Wednesday, December 17, 2014

Catatan Ibu Galau


Berawal dari keinginan menyediakan pendidikan yg bermutu bagi anak2....akhirnya nyebur juga belajar lagi.
Pengennya kalo pilih sekolah anak2 bener2 dapet ilmu, paham akan ilmunya, gak cuma kejar2an nilai bagus kaya ibunya dulu.
Di sekolah yg sekarang siy so far cukup memperoleh yang dibutuhkan, tapi apadaya harus ikut Ayah yg kerjanya pindah2, jadi merasa perlu menstandarkan cara berpikir anak2 untuk ngadepin gonta ganti kurikulum.
Tertarik belajar lagi karena sering baca2 status temen Ahmad Thoha Faz, beliau ini mengembangkan metode pembelajaran yang disebut metode aRTi, akhirnya kontak2 beliau, setengah nodong juga siy :) *Pak Thoha semoga pahalanya berlipat ganda*
Semoga ibu galau ini gak jadi males belajar lagi.
Dari diskusi2 dengan beliau ini banyak banget ilmu yang didapat, nanti pelan2 bakal ditulis biar gak lupa dan bener pemahamannya.
Pelajaran pertama yang saya dapat dari Pak Thoha adalah kemampuan untuk memvisualisasikan pikiran.
Seringkali kita belajar terikat pada tulisan, gak sadar bahwa dengan memvisualisasikan (menggambar) dapat memudahkan pemahaman kita akan suatu permasalahan.
Jadi biasakan anak untuk memvisualisasikan pemikirannya, sejak kecil bisa loh dibiasakan, gak perlu anak bisa calistung.
Menggambar bukan hanya produk kesenian, menggambar merupakan produk pemikiran.
Justru bahasa gambar anak2 ini harus terus dibudayakan.
So mommies....sediakan saja media nya....gak perlu bagus kok gambarnya, yang penting terus asah kemampuan anak menceritakan gambarnya.
visualisasi bisa dilatih secara bertahap: diawali dengan kata, kalimat, sampai cerita.
Nanti pas udah gede...pas pelajarannya udah makin sulit anak gak akan kesusahan lagi memvisualisasikannya
misal visualisasi kata "jarak", "lingkaran", "setengah", "gaya", dst
Sayangnya saya kurang rajin mengumpulkan gambar2 anak2 :(

All About Me

A girl who still in search of her own cup of coffee