Thursday, January 15, 2015

Membaca Titik Ba (1)

Tertohok.....
Adalah kesan yang saya peroleh, saat mulai membaca bab pertama dari buku ini.
Butuh waktu hampir 8 tahun, saat mulai membaca ulang buku ini, saya mulai menikmati halaman demi halamannya.
Terasa sekali saat membandingkan diri dengan anak SD yg merasa operasi pembagian susah, dan sekarang setelah dewasa kita melihat soal pembagian adalah soal yang gampang.
8 tahun yang lalu, saya adalah anak SD itu. Pegawai kantoran dengan sejuta kesibukan, berbaju modis, dan sering terlihat duduk menikmati kopi mahal dari gerai-gerai asing.
Sekarang, dengan balutan daster, dan kesibukan domestik yang terus berulang,dan menyesap kopi sachet seduhan, banyak ketakutan dan kekhawatiran yang mendorong munculnya pertanyaan2 dari dalam otak.
Mungkin karena baru saat ini tersentuh aspek kesadaran saya....terlambatkah?
Perasaan yang sama seperti saat membaca salah satu novel perjalanan favorit saya,Titik Nol, Agustinus Wibowo,  saat saya harus menghadapi ketakutan terbesar seorang 'pejalan' , yaitu PULANG.
Atau mungkin juga 2 malaikat kecil yang ditugaskan oleh Allah kepada saya, yang sudah menjadi motivasi untuk menggali lebih banyak lagi.
Ah....tulisan ini juga dibuat karena kalimat "jangan takut untuk menulis sesuatu yanh tidak engkau ketahui karena justru dengan menulis engkau akan mengetahuinya".

Thursday, January 8, 2015

Jurnal Belajar Anak-Anak (2)

Fase Play School

Usia 2,5 tahun, Atta sudah mulai lancar berkomunikasi secara lisan, dan sudah memiliki kebutuhan bersosialisasi dengan teman sebaya. 
Akhirnya kami memutuskan untuk mendaftarkan Atta ke sebuah play group. Berbekal tanya sana sini kepada teman-teman yang sudah lebih lama tinggal di Riyadh,
kami memilih Play School di Kingdom Compound.

Compound adalah kompleks perumahan yang dikhususkan bagi expatriat (berduit), karena sewanya bisa 3-5 kali lipat apartment biasa.
Di dalam compound, kita bisa hidup selayaknya di negara lain, tanpa perlu memakai abaya, bisa berolahraga dengan bebas, rumah yang terbuka, fasilitas lengkap
mulai dari sport hall hingga kolam renang. Keamanan yang terjamin, karena setiap pengunjung compound selalu diperiksa oleh tentara Saudi di pintu gerbangnya.
Ya...hidup di Saudi penuh keterbatasan, untuk bermain badminton, bersepeda, main bola di Public Park, kami, para wanita bisa kena tegur Muttawa,
dan untuk bergabung dengan pusat kebugaran khusus wanita adalah sebuah kemewahan.

Sebelum masuk Play School kami tidak pernah secara khusus membekali Atta dengan bahasa Inggris, bahasa pengantar di Play School.
Ada sekitar 15-20 anak, usia 1,5-4 tahun yang tergabung dalam Play School di Kingdom Compound, yang ditangani oleh 1 guru dan 2 asisten.
Guru Atta, Ms. Rana, keturunan Lebanon yang mengenyam pendidikan di Amerika. 2 Asisten Ms. Kusuma, dari Srilanka dan Ms. Daisy dari Philipina.
Murid-murid nya berbagai macam kewarganegaraan, South Africa, Singapore, Malaysia, dan beberapa negara Eropa. Jadi tidak semua anak menggunakan Bahasa Inggris
di rumahnya.
Bersyukur sekali Atta mendapat pengalaman seperti ini, Atta jadi lebih menghargai keberagaman.
Gurunya pun mengenalkan keberagaman itu, misal menunjukkan warna mata yang berbeda. Pernah suatu saat sepulang sekolah, Atta bilang pengen matanya warna biru,
seperti Renee yang dari Belgia :).

Sekolahnya terdiri dari beberapa ruangan, Ruang bermain, yang paling luas. Outdoor playground, tempat favorit anak-anak untuk bermain pasir,
ruang belajar dengan meja melingkar, ruangan belajar kecil untuk anak-anak yang hampir lulus (usia 4 tahun). Toilet untuk anak-anak yang dibedakan untuk anak laki-laki
dan perempuan. Tidak ada seragam, dan tidak harus memakai sepatu. Jam belajarnya pun termasuk lama, jam 9-12, 5 hari seminggu. Orang tua hanya mengantar dan menjemput.
Tidak boleh menunggu di depan kelas, sejak hari pertama. Seminggu pertama biasanya anak menangis, tapi selanjutnya anak gak mau pulang :D.
Sempat bertanya, bagaimana jika anak menangis, "It's our job to calm him/her!" jawab gurunya.

Dalam 1 tahun biasanya sekolah 2 kali mengadakan field trip, pada waktu Atta menjadi murid, field trip dilakukan ke private zoo di compound yang lain, dan ke petshop.
Dan sekali lagi, hanya 2-3 orang tua yang menjadi sukarelawan ikut, yang lain DILARANG ikut.
Ada 1 foto yang diberikan kepada saya, jadi anak-anak itu diajak untuk berpegangan pada tali tambang agar tetap berada dalam rombongan.

Atta sangat menyukai sekolah, saat tidak enak badan pun dia akan menangis kalau dilarang sekolah. Pulang sekolah pun, dia selalu ingin tinggal lebih lama.
Pada awal masuk sekolah, Atta sedang proses Toilet Training, masih sering bocor (pipis di celana), tapi gurunya melarang saya untuk memakaikan diaper, hanya perlu
menyimpan satu set baju ganti di sekolah. Jadi proses toilet trainingnya berjalan lebih cepat.
Tiap pulang sekolah sepatu atau sandalnya selalu penuh pasir, tidak peduli musim panas (hingga 50 derajat) ataupun musim dingin (hingga 0 derajat).

Untuk anak-anak dengan usia di atas 2 tahun sudah mulai dikenalkan alphabet, menulis, melafalkan, dan belajar menggunakannya.
Tidak ada buku dan tidak perlu membawa alat tulis, hanya worksheet yang disiapkan guru setiap hari untuk dikerjakan anak-anak di sekolah, semampunya, tidak ada PR.
Worksheet biasanya ada gambar benda yang diawali huruf tersebut, kemudian tracing penulisan huruf.
Untuk pelafalan, mereka dikenalkan dengan metode phonics, makhraj huruf sangat diperhatikan, misal untuk melafalkan bunyi P "Peh" anak-anak meletakkan kertas tisu
di depan bibirnya, melafalkan "Peh" kertas tisunya harus sampai bergerak.
Lewat lagu, A is for Apple, Ah Ah Apple, B is Bear, Beh Beh Bear, yang kadang diganti dengan nama-nama anak di kelas.

Dalam sebulan gurunya mengatakan bahwa Atta sudah lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, menjawab kekhawatiran saya di awal masuk sekolah.
Selain Bahasa Inggris, di sekolah juga diajarkan Bahasa Arab dan Perancis, hanya pengenalan.
Di rumah, kami tetap berbahasa Indonesia.

Sebulan sebelum tahun ajaran berakhir, kami harus pulang ke Indonesia, sedih sebenarnya, khawatir Atta tidak mendapat sekolah baru yang layak.
Gurunya berpesan, agar memasukkan Atta ke sekolah berbahasa Inggris, karena kemampuan linguistiknya bagus, sayang kalau hilang.

Di luar kegiatan sekolah, kami rajin mengajak Atta bermain di Public Park. Seringkali, kami pergi berombongan beberapa keluarga piknik di taman :).
Hal yang akan dicibir kalo dilakukan di Indonesia :D. Ibu-ibu bawa bekal makanan-makanan ringan, bapak-bapak menyiapkan sepeda atau alat-alat bermain buat anak-anak.
Kadang, ada story telling, menggambar/melukis. Hal-hal kecil dan sederhana yang sangat saya rindukan setelah saya pulang ke Indonesia.
Alhamdulillah, Surabaya punya bu Risma yang sudah menyediakan banyak Public Park di tengah kota, meskipun sangat tidak mungkin dipakai buat piknik, paling tidak 
anak-anak dapat bermain bebas di ruang terbuka.

Pulang ke Surabaya, mulailah kami berburu sekolah, tak apalah meski hanya sebulan lagi tahun ajaran usai, untuk mengisi kegiatan saja, karena kepulangan yang bisa
dibilang mendadak, kami terpaksa nebeng orang tua.
Jadi kurang leluasa untuk memberi kesibukan bagi Atta, seperti saat sebelum bersekolah.
Oh ya, sedikit catatan, untuk masa pra sekolah, karena saya tidak memiliki asisten rumah tangga, jadi saat saya masak, yah Atta ikut mengeksplorasi dapur, kadang 
dia sibuk dengan kuas dan cat air di meja khusus yang memang saya siapkan buat kegiatannya. Atau kadang yah dengan terpaksa Atta nonton kartun anak di TV 
atau yang sudah didownload ayahnya.

Tinggal di Surabaya Barat, kami mencari sekolah-sekolah internasional, dengan pengantar Bahasa Inggris, agak susah, karena mayoritas penduduk etnis Cina,
kalau tidak sekolah kristen ya sekolah internasional, yang tidak ada muatan lokal dan agama.
Setelah browsing, kami menemukan Sekolah Cikal, sudah terkenal di Jakarta. Di Surabaya baru berjalan tahun kedua. Sekolah Cikal ini didirikan oleh Najeela Shihab,
putri dari Quraish Shihab, Sekolah National Plus, lebih jauh akan tergambar saat saya menceritakan Fase sekolah TK.
Kami daftarkan Atta untuk masuk kelas Pre-K disana, Bahasa yang digunakan 50:50, Bahasa Indonesia dan Inggris, ada pelajaran Agama Islam, dan sama, orang tua hanya
mengantar jemput, meskipun seminggu hanya 3 kali. Karena kami sekaligus mendaftarkan Atta untuk sekolah TK disana, maka ada proses interview oleh seorang psikolog,
yang juga mengobservasi Atta di kelas.
Menurut si Psikolog, Atta ini cenderung diam dan kurang pede untuk menyampaikan pendapatnya, sempat merasa jadi tertuduh juga saya terlalu mengatur anak :(.
Sampai saat ini, masih belum menemukan jawaban yang tepat, karena dengan saya atau ayahnya, Atta selalu bebas bertanya dan bercerita apa saja, hanya dengan orang
asing/baru Atta cenderung tertutup.

Tuesday, January 6, 2015

Lateral Thinking Sebuah Pembelajaran

Kebebasan menggunakan pikiran, adalah garis besar yang saya peroleh setelah membaca Lateral Thinking nya Edward de Bono.
Salah satu penulis yang direferensikan pak Thoha.
Beberapa hal yang saya rangkum dari buku ini bisa dibaca di blog saya.

Hal paling mendasar yang harus kita tanamkan pada pikiran kita sebagai orang tua, bahwa belajar adalah proses.
Seringkali hal mendasar ini lenyap seketika, sejalan dengan keinginan memiliki anak yang berprestasi, memperoleh nilai tinggi, jadi yang paling 'pinter'.
Karena secara tidak langsung kita menuntut anak-anak kita untuk hanya memberikan jawaban yang paling benar, paling bagus, paling tepat.
Kita mematikan hal-hal lain yang mungkin terbersit di pemikiran anak-anak kita, yang dapat memperkaya pemikiran mereka, dengan memberikan label ini salah, itu benar.
Membunuh kreativitas :(, ya itulah yang perlahan sedang kita lakukan.
tentu saja lebih mudah menuliskan hal ini daripada impelementasinya, saya juga harus belajar banyak.

Bukan berarti pendekatan berpikir secara efektif (yang selama ini kita kenal), untuk mencari kebenaran mutlak harus dihilangkan, dalam bukunya Edward de Bono
memberi istilah Vertical Thinking.
Idealnya, setiap anak dapat berpikir secara vertical dan dilengkapi dengan kemampuan berpikir secara lateral.
Susah....ya memang tidak mudah.
Dan karenanya, pendidikan buat anak bukan hanya tanggung jawab sekolah.
Biarkan mereka belajar berpikir secara vertikal di sekolah, di rumah kita kembangkan pola pikir lateral mereka.
Ya, memang kita harus mau meluangkan waktu untuk mereview kembali pelajaran mereka di sekolah.

Ada beberapa masukan yang diberikan pak Thoha dari diskusi mengenai Lateral Thinking ini.
1. Sebaiknya sebagai pendidik, kita tidak gampang menilai salah atau benar, jika "salah" pandulah anak sehingga mereka dapat menemukan kesalahan mereka sendiri. Jika benar, ajak anak untuk mengeksplorasi dan mencoba cara yang lain.

2. Salah satu cara praktis untuk melengkapi pola pikir vertical dengan pola pikir lateral adalah mengubah PERNYATAAN menjadi PERTANYAAN.

3. Belajar dari kesalahan lebih ampuh daripada belajar dari kebingungan. Selalu dorong anak untuk berani
berpendapat, jika benar, eksplore lebih dalam lagi, jika salah tantang dia untuk membuktikan bahwa dia benar, hingga dia bisa menemukan kesalahannya sendiri.

Thursday, January 1, 2015

Jurnal Belajar Anak-Anak

Fase pra sekolah
Text book banget, mungkin ini kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana pembelajaran Atta yang saya lakukan sejak lahir.
Berbekal beberapa buku panduan untuk merawat anak umur 0-3 tahun.
Salah satu kekhwatiran terbesar waktu itu adalah kemampuan linguistiknya
Karena sejak umur 6 bulan Atta sudah kami ajak migrasi ke KSA.
Kultur negara KSA yag sangat tertutup membuat ruang gerak saya (perempuan), terutama yang tidak punya bekal kemampuan bahasa Arab menjadi sangat terbatas.
Menjadi sangat bergantung pada suami, bahkan untuk membeli garam sekalipun.
Jadi sehari-hari Atta hanya berkomunikasi dengan saya, dan malam hari ditambah dengan ayahnya, dan ayahnya dulu sangat pendiam :(.
1-2 kali seminggu, barulah Atta bisa bertemu teman-teman sebayanya, saat saya datang pengajian ibu-ibu Indonesia dan play date dengan beberapa teman.

Sempat ada rasa takut, karena sampe usia 2 tahun Atta belum banyak bicara, sementara teman sebayanya sejak usia 10 bulan sudah mulai bicara.
Oh ya, saya termasuk yang berkeyakinan untuk tidak memasukkan anak ke dunia sekolah sebelum dia bisa berkomunikasi dengan bahasa ibunya.

Pada waktu itu kami beranggapan, Atta lebih lambat kemampuan bicaranya, karena dia terpapar lebih dari 2 bahasa, saya dan suami seringkali berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Komunikasi dengan Atta menggunakan bahasa Indonesia.
Jika saya berkomunikasi dengan orang asing menggunakan bahasa Inggris.
Dan saat berada di ruang umum, Atta mendengar bahasa Arab.
Termasuk acara televisi anak-anak yang ditonton waktu itu, berbahasa Arab dan bahasa Inggris.

Akhirnya ayahnya download lagu2 anak2 dengan bahasa Indonesia, yang selalu kami perdengarkan di mobil.
Buku-buku yang saya bacakan pun, selalu berbahasa Indonesia.
Alhamdulillah antara usia 2-2,5 tahun Atta mulai lancar bicara berbahasa Indonesia. 
Kosakatanya banyak, pengucapannya pun tepat.

Entah kesimpulan saya benar atau tidak, dan sebenarnya masih terjadi hingga saat ini, dalam mempelajari sesuatu, Atta termasuk yang perfeksionis.
Dia tidak berani (yah...menurut saya ini satu kelebihan sekaligus kekurangan) menunjukkan kemampuannya, saat penguasaannya belum betul-betul sempurna.
Saat pengucapan kata nya belum tepat, Atta tidak mau mengeluarkan kata-kata sama sekali.

Pada adiknya, Affa hampir sama kasusnya, saat ini Affa 2 tahun lebih 2 bulan, dan kosakatanya sangat sedikit. 
Usia 4 bulan Affa kami bawa pulang ke Indonesia, Affa terpapar bahasa Jawa dan bahasa Indonesia lebih banyak, tetapi saat bermain dengan Atta (intensitasnya sangat tinggi) Atta menggunakan 2 bahasa,Inggris dan Indonesia.
Televisi berbahasa Inggris, kebetulan di rumah menggunakan TV berbayar, jadi anak-anak hanya nonton program Disney Junior.

Ya Atta menjadi bilingual, seringkali dia malah tidak paham istilah bahasa Indonesianya.
Bagi Atta hal ini sudah bukan lagi masalah, karena dia sudah memiliki kemampuan untuk membedakan, termasuk saat dia membaca atau mendengar kata-kata baru dalam bahasa asing.
Tapi bagi Affa, tentu berbeda, saya masih berjuang agar Affa segera lancar berbicara, agar saat kami ajak migrasi nanti Affa siap menerima banyak bahasa.

All About Me

A girl who still in search of her own cup of coffee