Thursday, September 23, 2021

An Ode to a Friend

Awalnya aku hanya berpikir ini seperti amanah-amanah lain, tidak pernah terpikir amanah ini menjadi amanah dari sebuah akhir perjalanan hidup seorang manusia.
Amanah yang kuterima dari sebuah percakapan lewat Whatsapp, meski mengagetkan, aku hanya berpikir tenang, semua akan berlalu seperti yang sudah-sudah.
Sebuah amanah yang membuat emosi naik turun seperti mengendarai roller coaster selama lebih dari sebulan, hingga saat inipun saat semua akhirnya selesai, aku masih belum memahami status emosi dari akhir sebuah amanah ini.
Sebuah amanah yang membuatku merenung akan perjalanan hidup seorang manusia, perjalanan hidupku, perjalanan hidup anak-anakku nanti.

Sebuah pelajaran mahal yang kuterima dari seorang kawan, hadiah terindah dan berharga di akhir perjalanannya dalam hidup.
Usia kita terpaut 11 tahun, saat kabar itu datangpun, aku membaca dan menjawab pesan-pesanmu sambil menyelesaikan setrikaan yang menggunung.
Aku masih berpikir ini hanya hal biasa, namun cukup menabrak konsentrasiku, musik yang kuputar di mobil terdengar datar tak bernada selama perjalanan mengantar anakku ke rumah temannya. Aku merasa dingin, tidak meluap-luap menumpahkan kesedihanku, namun semua terasa mengerikan dan absurd.
Hingga keesokan harinya, aku mendengar tangisan pecah dari belahan jiwamu kawan, mengoyak kesadaranku, mendengar kabar bahwa hidupmu tak akan lama lagi.

Saat itu dirimu hanya meminta tolong aku dan keluargaku untuk menemani keluargamu saat dirimu berjuang melawan sakit yang menggerogotimu. Tak ingin kau berbagi pada dunia tentang keadaanmu, pun aku tak tega untuk berbagi pada semua. Perjuanganmu sudah sangat berat, tanpa perlu ditambah beban menjelaskan ke dunia apa yang sedang kauhadapi.

Namun karena keterbatasan tenaga dan waktuku, aku ingin membagi beban ini dengan kawan yang lain, yang tentu saja engkau juga percaya karena kita telah banyak menghabiskan waktu bersama dan berbagi banyak hal.

Saat kutelusuri jalanan yang pernah kita lalui bersama, berat rasanya membayangkan untuk kembali kesana tanpa kehadiranmu saat musim dingin nanti, saat tenda-tenda biasa kita bentangkan, dan aroma sate kambing yang kita bakar di panggangan spesialmu. Malam-malam kita bercakap hingga pagi di depan api unggun, di bawah cahaya bintang. Terlalu banyak kawan....membayangkannya pun sudah membuat aku rindu.

Dunia ingin tahu tentang dirimu, akupun lebih banyak menghindar, meski akhirnya beberapa mendengar kabarmu, tidak mudah bagiku untuk bercerita. Aku hanya berharap semua mau mendoakanmu, doa-doa yang akan menguatkan perjuanganmu. Hanya itu yang kuminta dari dunia, meski tak semua menerima dengan baik, aku tak peduli kawan. Biarlah semua menjadi cerita dalam ruang yang kaubagi bersama orang-orang yang kau cintai.
Pun aku tak dapat banyak membantu, hanya mencoba menemani dan menyemangati belahan jiwa dan permata hatimu.

Hingga akhirnya tibalah hari itu, ditemani suami dan anakmu, engkau meninggalkan kefanaan dunia, menyelesaikan perjuanganmu dan juga perjalananmu. Saat mengantarkan ke peristirahatanmu, kauberikan senyum terbaikmu, yang akan selalu kuingat. Kau pulang dalam keadaan terbaikmu, sungguh keajaiban yang dipertontonkan oleh Pemilikmu bagi kami, tak henti membuatku takjub.

Dunia ternyata tidak sesederhana pikiranku, terbawa emosi aku berbagi pada kawan-kawanmu juga, yang membawa kekecewaan bagi keluarga yang kautinggalkan. Hanya maaf yang bisa kusampaikan kawan. 

Amanahmu ternyata bukan hal yang mudah untuk diemban, maafkan aku jika tak bisa menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.
Aku merasa beruntung menerimanya. Terima kasih kawan atas hadiahmu, selamat jalan dan bahagia disana kawan. Semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu meski kita sekarang jauh.

Abu Dhabi, September 2021






All About Me

A girl who still in search of her own cup of coffee